Rabu, 26 Mei 2010

Cerita perjuangan Bu Muslimah


Namanya tercetak abadi di salah satu buku bestseller di negeri ini - Laskar Pelangi. Tapi Muslimah Hafsari tidak pernah meminta apapun. Bahkan ia lebih memilih meninggalkan pesan, “Kalau kita sudah tinggi, tidak usah disanjung-sanjung. Nanti jatuh ke buminya lebih jauh lagi.

“Saya sudah tiga puluh tahun lebih berpisah dengan Andrea, sejak dia lulus SD. Baru lima tahun lalu dia main ke rumah, dan saya sempat tidak mengenalinya,” kenang Muslimah.

Baru setelah Andrea menyebutkan nama teman-temannya sewaktu SD, Muslimah mulai teringat.

“Dia juga tunjukkan foto-foto dari Aceh. Ada satu gambar dimana dia ada di depan rumah yang bagus sekali. Dia bilang itu rumah Cut Nyak Dien. Rumah ini sekelilingnya hancur, tapi rumah ini tergores pun tidak. Dan dia bilang, begitu dia duduk-duduk di bawah bangunan itu, dia langsung teringat saya. Dia bilang dia tidak bisa menahan tangis, karena ia menganggap saya anggap seperti figur Cut Nyak Dien!” ujar Muslimah dengan nada tinggi di akhir kalimat.

Katanya saya seperti sosok pahlawan baginya. Saya pikir kok berlebihan, saya hanya manusia biasa.” - papar Bu Muslimah.

Ya, nada tinggi itu muncul karena Muslimah merasa benar-benar tidak pantas dibandingkan dengan pahlawan nasional itu. Tapi Andrea bersikeras, dan akhirnya Muslimah pun tak bisa berkata apa-apa lagi. Apalagi ketika Andrea mengaku bahwa ia membuat buku khusus untuk ibu gurunya ini.

Saya menanyakan pada Andrea, kenapa kisah ini harus ditulis ? Andrea menjawab, novel ini sebagai bentuk penghargaannya kepada saya” - ucap Bu Muslimah.

“Ketika itu, saya sudah mau menangis. Terperangah, anak sekecil dia kok bisa membaca keprihatinan gurunya,” kenang perempuan yang sudah memiliki tiga cucu ini.

Muslimah tidak pernah menduga kisah hidupnya akan menginspirasi jutaan orang. Tak pernah pula ia menduga, figurnya akan diangkat ke layar lebar hingga mendapat apresiasi dari pemerintah.

Dalam perbincangan, Bu Mus menggambarkan kondisi SD Muhammadiyah Gantong semasa ia masih muda. “Sedikit berbeda dengan yang di film. SD Muhammadiyah Gantong dulu atapnya dari kayu bulin yang dipotong kecil-kecil, ukurannya kurang lebih delapan kali 30 senti disusun kecil-kecil. Kalau terkena panas hujan berkepanjangan atapnya berlubang dan bisa jatuh satu demi satu. Dindingnya terbuat dari papan, dipasang melintang-lintang, kalau kena panas dan hujan lama-lama rontok juga. Kalau musim hujan, kambing-kambing pada masuk. Ruang kelas kami jadi kandang. Keesokan harinya, saya dan anak-anak memberihkan kotoran kambing. Ruang kelas kami bau,” cerita Bu Mus. Kondisi seperti ini dijalani dan menguji kesabarannya setiap hari.

Lama-lama Bu Muslimah seperti merangkak di jalan Zaman. Sebagai manusia, ia nyaris patah orang. Betapa tidak, setiap kali mencurahkan perasaannya kepada kawan dan memohon bantuan ke kantor-kantor institusi tertentu, jawaban inilah yang diterimanya. “Sudahlah Mus, kalau anak-anak tak mampu itu tak mampu lagi melanjutkan sekolah, bubarkan saja!” Atau ada pula yang menjawab tak kalah ketus. “Sudahlah Mus! Kalau saya kaya, pasti akan saya bantu“. “Saya sadar mereka juga sibuk dengan urusan pekerjaan masing-masing, tapi jujur jawaban itu membuat hati saya terasa sesak“, kenangnya menahan haru.

Untungnya ada beberapa simpatisan Muhammadiyah, seperti Pak Zukarnaen yang tergerak hati menyumbang satu atau dua kilo beras.” - sambung Bu Mus. Kami pun penasaran dengan gaji Bu Mus waktu mengajar Andrea kecil. “Waktu itu gajinya 4000 rupiah. Itupun tergantung iuran anak-anak. Kadang malah tidak dapat gaji karena saya bagi dengan teman-teman sejawat yang selama ini menyokong. Lagi pula saya masih punya penghasilan dari menjahit baju. Selesai mengajar, saya menjahit baju pesanan orang sampai sore. Belum lagi kalau sedang ramai atau menjelang Lebaran, baru selesai jam satu malam.

Kehadiran Muslimah Hafsari mungkin sangat berkesan di hati murid-muridnya. Tapi tentunya ia juga punya tokoh panutan sendiri. Orang yang membuatnya bisa bertahan melewati segala aral rintangan untuk membagikan ilmu.

Contoh terbaik datang dari ayah saya. Ketika ia sudah tidak kuat lagi keluar rumah dan mulai sakit-sakitan, banyak sekali muridnya yang menyayangkan ia tak bisa lagi mengajar mereka. Tapi kalau diajak ngobrol tentang mengajar, beliau masih bersemangat. Jadi saya berpikir, ayah saya sampai detik terakhir hidupnya, masih mau memberikan ilmu. Jadi mungkin saya juga begitu. Jalanilah selama saya masih mampu,” ujar Muslimah pelan.

Dan dari pengalaman hidupnya yang kaya, Muslimah ingin membagi satu hal penting yang selalu dijunjungnya.

Untuk guru-guru sekarang, janganlah sekali-kali kita menyakiti anak, baik fisik maupun batinnya. Murid mengenang guru seumur hidup. Kalau kita menyakiti perasannya, dia mungkin akan benci selamanya. Tapi kalau kita memberi sesuatu yang berkesan, ya inilah kenyataannya,” ujarnya sambil menunjuk buku Laskar Pelangi yang didekasikan Andrea untuk guru yang luar biasa ini.

Bagi Bu Mus tak ada hal yang lebih membanggakan selain melihat murid-muridnya berhasil mengejar pelanginya.


Sumber : bintang & mustikafm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini